Home » » Penghulu ‘harus’ bijak ’sana’ dan bijak ’sini’

Penghulu ‘harus’ bijak ’sana’ dan bijak ’sini’

Oleh: H. Handoyo, S.Ag
Penghulu Muda KUA Kalibawang

Bagi sebagian orang, menjadi penghulu merupakan sebuah pekerjaan yang di idamkan. Karena penghulu di mata masyarakat merupakan sebuah jabatan yang terhormat, jabatan prestisius. Demikian terhormatnya, sampai-sampai banyak sekali ‘nilai lebih’ yang disandang seorang penghulu, mulai dari persepsi masyarakat terhadap penghulu sebagai orang kyai yang faham terhadap segala permasalahan keagamaan, sampai dengan urusan-urusan kecil yang tidak ada sangkut pautnya dengan urusan agama, urusan nikah sampai urusan jenazah, urusan poligami sampai urusan ngaji, bahkan urusan pribadi sampai urusan polisi. Pendek kata, penghulu merupakan sosok yang dianggap tahu tentang segala hal. Persepsi tersebut bukanlah tanpa alas an, karena pada kenyataannya memang penghulu seringkali dihadapkan pada persoalan-persoalan keseharian masyarakat, dari masalah rakyat melarat sampai masalah para konglomerat, bisa masalah serius atau bahkan masalah ringan yang terkadang cukup menggelikan.

Namun apapun yang dihadapi oleh seorang penghulu, yang jelas mereka harus siap dan bijaksana dalam melaksanakan tugasnya dan dapat memberikan solusi terhadap masalah yang dihadapi masyarakat. Seorang Penghulu haruslah seorang yang berintegritas tinggi, cerdas, memiliki komitmen yang tinggi untuk kemaslahatan. Masyarakat sendiri terkadang tidak mau tahu dengan kemampuan penghulu, performannya bahkan pendidikannya. Yang mereka tahu dan menjadi harapan hanyalah bagaimana urusan mereka bisa terselesaikan dengan baik. Seperti yang pernah penulis alami, masyarakat hanya tahu semua urusan lancar dan beres.

Sepasang calon pengantin, yang ketika pendaftaran tidak hadir untuk diperiksa. Berkas-berkas pendaftaran semua lengkap, namun hanya dibawa oleh ayah calon pengantin wanita, sebut saja Pak Anhar. Setelah selesai diperiksa dan wali pun telah menandatangani kolom pemeriksaan, petugas pemeriksa bertanya kepada wali : “ Pak, kapan calon pengantin bisa datang ke KUA untuk mengikuti penasehatan dan pembinaan calon pengantin?” wali tersebut menjawab :” wah, sepertinya mereka tidak bisa hadir ke KUA, Pak, mereka sedang tidak berada dirumah. Tapi insya Allah tidak ada masalah Pak, segala sesuatunya nanti saya yang bertanggungjawab.” petugas hanya mengiyakan dan tidak bisa memaksa dengan harapan pada saatnya nanti tidak ada masalah apapun.

Hari yang direncanakan pak Anhar pun tiba. Selaku penghulu tentu saya tetap berkomitmen untuk melaksanakan tugas dengan maksimal, termasuk menghadiri pelaksanaan pernikahan putri pak Anhar yang beberapa waktu lalu sudah didaftarkan. Sejak awal kehadiran sampai menjelang pelaksanaan tidak ada permasalahan sama sekali, demikian pula ketika ‘mike’ sudah diberikan kepada saya, semua berjalan lancar.

Masalah baru muncul ketika proses akad nikah akan dilaksanakan. Seperti biasanya, sebelum ijab qobul selaku petugas saya menanyakan kepada pak Anhar selaku wali nikah, apakah beliau akan melaksanakan proses ijab qobul sendiri atau akan mewakilkan kepada para ‘sesepuh’ atau petugas. Dengan mantapnya beliau menjawab :” ya pak, akan saya nikahkan anak saya sendiri.” Demikian pula calon pengantin pria, sebut saja Darobi, setelah saya verivikasi datanya, saya tanyakan apakah ijab qobulnya akan menggunakan bahasa Indonesia, Jawa atau bahasa Arab. Dengan lantang calon pengantin pria menjawab : “dengan bahasa Arab, Pak”. Saya pun menanyakan kepada wali, “apakah bapak bisa menikahkan dengan menggunakan bahasa arab?” beliau jawab : “bisa pak.”

Sudah menjadi kebiasaan saya, ketika ada calon pengantin demikian pula wali yang akan melaksanakan sendiri proses akad nikahnya, apalagi dengan mempergunakan bahasa arab, tidak akan saya lakukan geladi atau latihan terlebih dahulu. Karena menurut hemat saya, calon pengantin yang akan melakukan akad nikah dengan berbahasa arab, adalah calon pengantin yang sedikit banyak sudah memahami dan mendalami ilmu agama, termasuk nikah. Sehingga tidak perlu melakukan latihan ijab qobul.

Namun dugaan saya keliru, proses ijab qobul yang seharusnya berjalan lancar dan khidmat, ternyata menjadi ajang “ger geran”. Bagaimana tidak, setelah khutbah nikah selesai dibacakan dan proses ijab qobul saya serahkan kepada wali, beliau malah bertanya : ”untuk apa mike ini diserahkan kepada saya Pak?”. Sontak saya kaget, : “lho pak Anhar, anda kan akan menikahkan anak kandung anda sendiri tho pak?” Jawab beliau : ”benar pak, ini anak kandung saya sendiri”. Astaghfirullohal ‘adzim, saya baru sadar, bahwa mungkin yang dimaksud pak Anhar adalah beliau akan menikahkan anak kandung beliau sendiri, dan itu dilaksanakan dengan menggunakan bahasa Arab yang dilakukan oleh petugas. Hanya saja karena nervous beliau tidak secara jelas menyerahkan kewaliannya kepada petugas, dan saya selaku penghulu pun kurang jeli memahaminya.

Ringkasnya, proses taukil wali pun dilaksanakan, dan saya yang ditunjuk oleh wali untuk mewakili beliau melaksanakan proses ijab qobul. Biasanya proses taukil wali saya lakukan secara formal, melalui akad tersendiri. Dengan terbata-bata mengikuti ucapan saya, pak Anhar berkata : “ kepada Bapak penghulu, saya Anhar, memohon kepada Bapak untuk mewakili saya menikahkan anak kandung saya, sebut saja Aminah, kepada saudara Darobi dengan mas kawin seperangkat alat sekolah tunai.!” Seketika tawa para hadirin pun menggema. Saya pun tidak bisa menyembunyikan rasa kaget dengan ikut tersenyum. Namun setelah suasana reda dan tenang, proses taukil wali diulangi dan berjalan lancar.

Selesai…….belum..!, ternyata masalah kedua muncul. Calon pengantin pria saya tanya sekali lagi, “mas Darobi, anda sudah siap melaksanakan ijab qobul dengan bahasa Arab?” “Siap pak” jawabnya. Setelah proses ijab dilaksanakan, sampai pada kalimat akhir : …Bil Mahri Alatis shalat….haalan..!, saya gerakkan tangan sedikit sebagai isyarat agar beliau segera menjawab qobulnya. Ditunggu sampai beberapa detik, calon pengantin pria belum menjawab, sampai akhirnya dengan suara lirih saya katakan kepadanya silahkan dijawab mas. Mas Darobi malah bertanya : “jawab apa pak?” seketika meledaklah tawa hadirin untuk kedua kalinya. Selaku penghulu, seolah saya merasakan tamparan yang keras sekali. Tanpa rasa bersalah dan seakan tanpa beban, calon pengantin tetap tenang, berbeda dengan saya, pucat pasi dibuatnya. Apapun yang terjadi, yang jelas saat ini adalah moment penting, sehingga saya harus berusaha tenang dan berusaha menetralisir suasana yang sempat riuh tersebut.

Akhirnya proses ijab qobul pun selesai dilaksanakan dengan mempergunakan Bahasa Indonesia, dengan segudang pengalaman tentunya. Benar sebuah ungkapan mengatakan “pengalaman adalah guru yang terbaik”.

Written by : Admin - Melayani sepenuh Hati

Terimakasih atas kunjungan anda, sangat berarti bagi kami jika berkenan meninggalkan jejak dengan memberikan komentar di Web ini dan atau bergabung dengan kami melalui jearing sosial dibawah ini

Join Me On: Facebook | Twitter | Google Plus :: Thank you for visiting ! ::

3 komentar:

  1. Makanya pak, latihan dalam hal apa saja menjadi sesuatu yang sabngat penting. Semoga menjadi pelajaran berharga, bagi bapak dan semua penghulu yang ada

    BalasHapus
    Balasan
    1. Terima kasih... sebagai motifasi kita meningkatkan kualitas SDM. pengalaman adalah guru yang terbaik

      Hapus
    2. Terima kasih mas "anonim" atas supportnya, semoga ke depan lebih bijak lagi, seperti abu nawas...

      Hapus

Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.

Comment