Home » » Wujud dari Sebuah Pengabdian

Wujud dari Sebuah Pengabdian



Kecelakaan, Pimpin Ijab dengan Kondisi Luka-Luka
Harian Jogja (Kamis Pahing, 14 Maret 2013)
Jika ada pertanyaan siapa aparat negara yang paling sering terjun langsung ke rumah warga, bisa jadi, jawabnya bukan kepala desa, bupati, maupun gubernur, tetapi dia adalah penghulu. Bagaimana tidak, saat ini, nyaris semua pelayanan pernikahan, dilakukan di rumah warga. Bagaimana kisah penghulu dalam menjalankan tugas di wilayah Pegunugan Menoreh, berikut penuturan kepada wartan Harian Jogja, Nina Atmasari

Dalam 13 tahun terakhir, Qomaruzzaman hampir setiap hari berkunjung ke rumah warga. Dalam sehari, bahkan tidak hanya satu rumah, tetapi bisa mencapai enam rumah. Dia bukan kades maupun kepala daerah, tetapi dia adalah penghulu yang saat ini bertugas di Kantor Urusan Agama (KUA) Kecamatan Kalibawang. 

Tugasnya mencatat pernikahan warga, dan untuk itu ia harus datang ke rumah warga yang menikah tersebut. "Saat ini hampir semua pernikahan dilakukan di rumah, jarang sekali ada yang datang untuk menikah di Kantor KUA", katanya ketika ditemui Harian Jogja, di Kantornya, Rabu (13/3).

Jika aparat negara yang lain memiliki segmen khusus terhadap warga yang didatanginya, tidak bagi Qomaruzzaman. Lokasi yang didatanginya mulai dari warga miskin hingga pejabat, warga di kawasan perkotaan hingga pelosok gunung yang masih dalam jangkauan wilayahnya. Jalan meliuk-liuk, menurun, menanjak, terjal hingga jalan setapak ke ujung dusun, semua pernah dilakoninya.

Bahkan, karena Kalibawang memiliki empat desa terdiri dari 80 dusun itu hanya ada tiga penghulu, sering satu penghulu harus bertugas di beberapa lokasi dalam satu hari. Karena tergesa-gesa memburu lokasi, Qomaruzzaman bahkan pernah kecelakaan di jalan Pegunungan Menoreh wilayah Desa Gerbosari, Samigaluh saat hendak bertugas menikahkan warga.

Kendaraannya rusak parah, badannya luka dan tulang kakinya selip. Meski demikian, dua mempelai berikut keluarganya telah menunggu. "Akhirnya saya dijemput oleh keluarga mempelai di lokasi kecelakaan, kemudian dipapah menuju rumah dan tetap menjalankan tugas menikahkan mempelai dengan kondisi luka-luka", tutur penghulu yang sudah bertugas di Nanggulan, Samigaluh, Girimulyo, Pengasih dan Kalibawang tersebut.

Kondisi medan pegunungan yang masih jarang penduduk, juga menyebabkan penghulu sering kesulitan saat mencari lokasi rumah mempelai. Kalaupun ada rumah, menurutnya sering kosong karena penghuninya ke kebun. Jika ada warga yang bisa ditanya dan menunjukan jalan, sering pula membingungkan karena setelah diikuti, kondisinya tidak sesuai yang ditunjukkan.

Jika sudah demikian, maka berhenti dan mematikan mesin kendaraan cara terakhir. "Setelah mesin kendaraan mati, kemudian memasang telinga untuk mencari suara musik. Asal suara musik itulah saya tuju karena biasanya hajatan dimeriahkan dengan alunan musik", katanya.

Ditanya terkait biaya untuk medatangi rumah mempelai ini, Qomaruzzaman mengaku untuk transportasi sudah ada uang tunjangan operasional. Namun ia mengakui warga di pegunungan sangat menghargai seorang penghulu, sehingga meskipun lelah dan sulit di perjalanan, maka akan menjadi terharu dan senang dengan sambutan keluarga mempelai.

Para mempelai ini, menurutnya hanya ditarik biaya Rp. 30.000 untuk mencatatkan pernikahan. Pengumuman biaya ini, telah ditempel di depan Kantor KUA sejak 2011. "Tidak ada gejolak tentang biaya pencatatan pernikahan karena memang dari dulu sudah sesuai aturan", katanya. (nina@harianjogja.com)

Written by : Admin - Melayani sepenuh Hati

Terimakasih atas kunjungan anda, sangat berarti bagi kami jika berkenan meninggalkan jejak dengan memberikan komentar di Web ini dan atau bergabung dengan kami melalui jearing sosial dibawah ini

Join Me On: Facebook | Twitter | Google Plus :: Thank you for visiting ! ::

0 komentar:

Posting Komentar

Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.

Comment